Monday, January 30, 2017

ANALISIS ISLAMI TERHADAP KESELAMATAN PENERBANGAN

KESELAMATAN PENERBANGAN
DAN PRINSIP DALAM ISLAM


Ketika aktivitas manusia dilakukan berlandaskan kebenaran ilmiah maka hipotesisnya adalah aktivitas itu akan sesuai dengan prinsip-prinsip dalam ajaran agama Islam. Mengapa? Analisis di bawah ini akan membuktikan hipotesis tersebut. Analisis terhadap 4 aspek penerbangan yang telah diuraikan di Bagian Pertama buku ini: ‘Tetralogi dalam Penerbangan’ di Bab I, II, III dan IV di yaitu Kebenaran Ilmiah, Kepatuhan, Kejujuran dan Hazard.

Analisis 1
Diuraikan di Bab I ‘Kebenaran dalam Penerbangan’ bahwa penerbangan dikelola berlandaskan kebenaran-kebenaran ilmiah yang dituangkan dalam 19 ICAO Annexes. Kebenaran ilmiah yang diperoleh melalui Research and Development pada hakekatnya adalah kebenaran dari Allah SWT, Maha Pencipta langit dan bumi beserta segala isinya. Kebenaran ilmiah adalah ayat-ayat Allah di alam semesta. Bila kebenaran mutlak diwahyukan kepada Nabi Muhammad Rasulullah SAW yang kemudian tertuang dalam Al Qur`an bersifat tetap, kebenaran ilmiah terus berkembang sampai akhir alam dunia ini, membuka ayat-ayat Allah SWT di alam semesta. Ketika kebenaran ilmiah itu dituangkan dalam ICAO Annexes dan berbagai dokumen turunannya dalam bentuk regulasi dan dilaksanakan oleh insan dan lembaga penerbangan, maka pada hakekatnya aktivitas penerbangan telah dilakukan berdasarkan ayat-ayat Allah SWT yang tersirat di alam semesta.
يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ إِنِ اسْتَطَعْتُمْ أَنْ تَنْفُذُوا مِنْ أَقْطَارِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ فَانْفُذُوا ۚ لَا تَنْفُذُونَ إِلَّا بِسُلْطَانٍ
Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.(Ar-rahman 33)
Analisis 2
Ketika ICAO melaksanakan program USOAP seperti diuraikan dalam Bab II ‘Kepatuhan dalam Penerbangan’ maka program ICAO ini sungguh sangat Islami. Umat Islam harus mematuhi, melaksanakan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi laranganNya. Bila bandara, maskapai penerbangan dan navigasi udara dikelola dengan penuh kepatuhan pada ICAO Annexes beserta dokemen dan circularnya, maka penerbangan ini telah dikelola secara Islami.
 Indonesia, pada tahuan 2007an, dilanda berbagai kecelakaan pesawat, ketakutan melanda para penumpang pesawat. Sedikit goncangan karena awan membuat sang istri memegang erat tangan sang suami yang duduk disampingnya. Namun ketika penumpang itu naik pesawat yang baik dalam pengelolaan keselamatan penerbangannya, yang telah mematuhi ketentuan-ketentuan ICAO, tidak terbersit ketakutan dalam diri penumpang meskipun penerbangan tersebut penerbangan jarak jauh lintas negara. Mengapa? Tidak adanya rasa takut dalam diri penumpang ini ada landasannya dalam Al Qur’an. Bila kepatuhan itu dilakukan secara utuh maka, bila kita memakai bahasa Al Qur’an, itu berarti penyelenggara penerbangan telah ‘istiqomah’. Janji Allah dalam Al Qur’an bagi yang istqomah adalah ‘laa khaufun alaihim wa laa hum yahzanun’. Tidak ada rasa takut dan tidak ada rasa khawatir.
إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. (Al Ahqaf: 13)

Analisis 3
Untuk meningkatkan keselamatan penerbangan setiap negara harus menerapkan Reporting System, dimana semua insiden dilaporkan dan dianalisis. Berdasarkan teori, bila 600 insiden tidak dianalisis akan terjadi 30 kecelakaan ringan, 20 kecelakaan serius dan 1 kecelakaan fatal. Laporan ini memerlukan kejujuran sebagaimana diungkapkan dalam Bab III Kejujuran dalam Penerbangan. Dari laporan dan analisis insiden itu diambil pembelajaran untuk memperbaiki pengelolaan keselamatan penerbangan. Islam sangat jelas sekali mengedepankan kejujuran mengikuti suri teladan siddiq dari Rasulullah SAW. Diriwayatkan oleh Ibn Mas‘ūd bahwa Rasulullah SAW bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَصْدُقُ وَيَتَحَرَّى الصِّدْقَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ صِدِّيقًا وَإِيَّاكُمْ وَالْكَذِبَ فَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَمَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَكْذِبُ وَيَتَحَرَّى الْكَذِبَ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
Maksudnya: “Bersikap jujurlah kalian, karena kejujuran akan mengantarkan kepada kebajikan, dan kebajikan akan mengantarkan ke surga. Di saat seseorang selalu jujur dan menjaga kejujurannya, Allah SWT akan menetapkannya sebagai orang yang jujur. Janganlah kalian berbohong, karena kebohongan akan mengantarkan kepada perbuatan dosa, dan perbuatan dosa akan mengantar seseorang masuk neraka. Jika seseorang selalu berbohong dan membiasakan diri berbohong, Allah SWT akan menetapkannya sebagai pembohong.”

Analisis 4
Bila penerbangan telah dikelola dengan kepatuhan, baik yang bersifat standar maupun rekomendasi, masih ada yang harus tetap diwaspadai yaitu hazard yang mengancam keselamatan penerbangan, lihat Bab IV ‘Bahaya (Hazard) dalam Penerbangan’. Insan penerbangan, terutama Safety Manager setiap hari harus selalu dan terus menerus mengidentifikasi hazard dan mengambil tindakan mitigasi. Aktivitas  ini juga sangat Islami. Umat Islam diminta untuk selalu waspada terhadap hazard yang selalu mengintai perbuatan yang baik, yaitu sikap riya, ujub, takabur, sombong dan lain lain.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تُبْطِلُواْ صَدَقَاتِكُم بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنفِقُ مَالَهُ رِئَاء النَّاسِ وَلاَ يُؤْمِنُ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْداً لاَّ يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِّمَّا كَسَبُواْ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ

Artinya : Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima), seperti orang yang menginfakkan hartanya karena riya (pamer) kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir. Perumpamaannya (orang itu) seperti batu yang licin yang di atasnya ada debu, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, maka tinggallah batu itu licin lagi. Mereka tidak memperoleh sesuatu apa pun dari apa yang mereka kerjakan. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir. (Al Baqarah : 264).

Analisis 5
Ketika di suatu negara banyak terjadi kecelakaan maka hipotesisnya adalah penerbangan di negara tersebut dikelola tanpa kepatuhan terhadap ICAO Annexes. Penerbangan adalah aktivitas yang dikelola dengan peraturan yang sangat ketat (highly regulated). Ketika peraturan keselamatan penerbangan tidak dipatuhi adalah bisa diterima akal bila terjadi kecelakaan pesawat. Tidak patuh terhadap peraturan, bila memakai bahasa Al Qur’an, berarti menzalimi diri sendiri. Terjadi musibah karena perbuatan tangan sendiri.

إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ النَّاسَ شَيْئًا وَلَٰكِنَّ النَّاسَ أَنْفُسَهُمْ يَظْلِمُونَ
Sesungguhnya Allah tidak berbuat zalim kepada manusia sedikitpun, akan tetapi manusia itulah yang berbuat zalim kepada diri mereka sendiri. (Surah Yunus 44)

وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ وَيَعْفُو عَنْ كَثِيرٍ
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu) (Surat Asy-Syura 30)
تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
.....Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim. (Al Baqarah 229)

Analisis 6
Dengan peraturan yang sangat ketat, dengan Annex terakhir, yaitu Annex 19 Safety Management System, target ICAO adalah tidak lebih dari satu kecelakaan fatal dari sejuta penerbangan. Mengapa tidak Zero Accident? ICAO tidak pernah membuat target Zero Accident karena tidak mungkin tercapai, karena tidak pernah ada organisasi yang sempurna, tidak pernah ada sistem yang sempurna. Insan penerbangan, dimana pun, bekerja di dalam sistem yang tidak sempurna (imperfect system).
Karena itu insan penerbangan, ketika hendak melaksanakan tugas mengelola penerbangan, ketika hendak bepergian dengan pesawat terbang, meskipun telah diatur secara ketat, harus tetap berdoa, karena pasti ada ketidaksempurnaan di dalam sistem. Hanya Allah SWT yang Maha Sempurna.
Do’a naik kendaraan:
Bismillaahi majrahaa wa mursaahaa inna robbii laghofuurur rohiim.”
Maha suci Allah yang memudahkan ini (kendaraan) bagi kami dan tiada kami mempersekutukan bagi-Nya, dan sesungguhnya kami akan kembali kepada Tuhan kami.
Do’a keluar rumah:
“Bismillaahi tawakkaltu alallaahi, laa haulaa walaa quwwata, illaa billaahi.”
Dengan nama Allah aku bertawakal padaNya, tiada daya dan kekuatan melainkan daya dan kekuatan Allah.

Semoga bermanfaat, mohon maaf bila ada kekeliruan. Wallahu a’lam bishawab. (Jakarta, Ramadhan 2016)

==================

(Tulisan ini merupakan tulisan utuh dan merupakan salah satu bab dari buku penulis yang telah terbit akhir 2016 "KESELAMATAN PENERBANGAN, TEORI DAN PROBLEMATIKA" Edisi kedua, bisa diperoleh di Gramedia. Tulisan KESELAMATAN PENERBANGAN yang pertama di Blog ini adalah versi surat kabar, Republika)

Sunday, January 29, 2017

HONESTY IN AVIATION SAFETY

HONESTY IN AVIATION SAFETY

NTSC (National Committee for Transportation Accident) Indonesia noted that the number of aircraft accidents has doubled in the past two years. The data released November 2016 said, in 2014 plane crash happened seven times, in 2015 the figure rose to 11 events and, in 2016 to 15 accidents. For the category of a serious incident, the NTSC recorded 23 occurrences of serious incidents in 2014, 17 events the following year, and in 2016, the figure rose to 26 events. Meanwhile, in 2016, there were at least six times air crash involving several aircraft and helicopters belonging to the military and police.
What's wrong with our aviation? What's wrong with military and police flights?

PREVENTION METHOD
Technological and regulatory methods have been successful in reducing the civilian aircraft accident significantly until 1975. After 1975 the number of accidents, although low, can not be reduced again by both methods. Another method is needed in efforts to prevent a plane crash.
ICAO then decided to create a new method in addition to the two methods. The method used and, it is the ICAO policy to be implemented by ICAO member states, including Indonesia, is a method of incident analysis, contained in Doc 9422 Accident Prevention Manual. Each incident must be reported to be analyzed and then set preventive measures plane crash.
This policy is set by the paradigm that the plane crash was the accumulation of incidents. It is said that of the 600 incidents that have not been investigated, 30 minor accidents, 20 serious accidents and one fatal accident will happen. Each aircraft incident should be investigated with the aim not to blame someone but to be used as learning materials (lesson learned) in order to prevent recurrence of similar accidents again. Thus, the success of the prevention of air accidents is highly dependent on incident reporting.

COMPULSORY REPORTING
Will offender honestly report and telling the truth about what happened in the accident or incident that has been done? It is human nature to cover up mistakes made by individuals, because of shame and pride especially when there is the threat of criminal penalties. Therefore, in the early stages of the incident reporting program it is voluntary and anonymous. Of course the number of voluntary reporting is very limited. Many incidents are hidden due to various reasons mentioned above.
To develop a reporting culture, the international aviation community and ICAO proposed the concept of just culture in which the doers of the incident are not punished unless there is a behavior that is an unacceptable. In one of the strategies in the ICAO Global Aviation Safety Plan, that is Effective Errors And Incident Reporting Systems, ICAO requested the State to amend the Aviation Act to incorporate the principles of just culture.
In Denmark, for example, incidents were reported just 15 incidents per year, but after the liability and protection against incident reports included in the Aviation Act, there were 980 reported incidents. Almost mid-air collision (near-miss) from 15 to 50 times per year. In Denmark's case shows how many incidents of flights that had been hidden, unreported and not investigated.

ALL MUST BE HONEST
To make the doer willing to report any incident with complete data, it must be created conditions where the doer of the incident is not punishable. There should be a condition where honesty is encouraged and developed, where honesty is greatly appreciated, there is an atmosphere of trust (an atmosphere of trust in which people are encourage, even rewarded, for providing essential safety-related information). In Indonesia, the obligation to report any incidents and protection for whistleblowers has been regulated in the Aviation Act No.1/2009 in the article 321.
The problem now is whether all ranks from the operational level up to the top management understands and ready to behave according to the reporting culture? When the, operational level, pilots, mechanics, ATC and others are ready to provide a report of every incident as mandated by ICAO and Aviation Acts, is the director ready to receive reports of incidents? Is the investigation team ready to investigate and analyze using the appropriate investigative models, as recommended by ICAO, to find out the latent failures of the incident, i.e the wrong decisions made by the director, in addition to active failures related to operational personnel errors? Are we ready to report the findings about latent failures to the boss? Are we ready to report to the manager of the findings about latent failures? Is not there a worry that we will be dismissed by the top management when we submitted the report? Is the top management ready to behave by saying: I would like know the incidents rather than punish the offender? Will the top management would honestly accept all incident reports and then want to implement all the recommendations of an incident investigation related to latent failures? Will he make improvements of existing systems? Will he takes correction to the wrong decisions?
Honesty which is expected to grow and develop in flight operations personnel for reporting and telling the truth about what is happening in any accident or incident shall be accompanied by honesty of the top and middle management's to analyze deeply any incident and willing to accept gracefully the findings of latent failures and then want to correct mistakes in the system in accordance with the recommendations of the investigation.
In a aviation scientific reference, Indonesia is included in the group of countries that have high power distance cultures where there is a large distance between the junior and senior. Junior was very respectful of senior and afraid to provide input.
Junior respect for seniors and afraid to provide input. Seniors do not want to be criticized and often ignore the input of junior. Copilot will take such a long time to look for words that are polite to reprove Captain Pilot who made a mistake, even though both had been trained CRM (Cockpit Resource Management), which seeks to eliminate the high power distance.
When the culture of a high power distance still exists within operational staff and Indonesia Aviation Manager, civilian and military, the aircraft accident and incident investigation will not be effective as a method of prevention of aircraft accidents. Aircraft accidents will continue to happen.

CAN WE?
Can aviation people in various layers act and behave honestly? Honest in reporting the incidents, honest in accepting the report and analyzing the incident, honest in accepting the recommendations of incident investigation and honestly implement improvements in accordance with those recommendations?
Cultural values contained in reporting culture is honesty. Aviation must be managed with honesty. Aviation is one of the industrial complex socio-technical system that requires accurate coordination and interaction of many professionals and diverse technology components which if not managed with honesty then that will happen is a major disaster (catastrophes).
Conclusion, if there are a lot of plane crash in a country, the hypothesis is that aviation (as well as sea and land transportation) in the country have not been managed honestly. This hypothesis would need to be proven through studies that also honest.
===============
{The article was firstly written in Media Indonesia, June 18, 2009 and edited in January 2017 by: Dr. Drs. Yaddy Supriyadi SH MM SSiT, Vice Chairman, Air Law Society (Masyarakat Hukum Udara, MHU) Jakarta, Indonesia}

Saturday, January 7, 2017

KESELAMATAN PENERBANGAN



Ketika aktivitas manusia dilakukan berlandaskan kebenaran ilmiah maka 
hipotesisnya adalah aktivitas itu akan sesuai dengan prinsip ajaran Islam. Mengapa?
Analisis berikut berupaya membuktikannya. Analisis terhadap empat aspek keselamatan penerbangan 'tetralogi dalam penerbangan', yaitu kebenaran ilmiah, kepatuhan, kejujuran, dan hazard.

Analisis pertama, penerbangan dikelola berlandaskan kebenaran ilmiah yang dituangkan dalam 19 buku ICAO Annexes. Kebenaran ilmiah yang diperoleh melalui research and development pada hakikatnya kebenaran dari Allah SWT, Maha Pencipta langit dan bumi beserta segala isinya.

Kebenaran ilmiah adalah ayat-ayat Allah di alam semesta. Bila kebenaran mutlak diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang tertuang dalam Alquran bersifat tetap, kebenaran ilmiah terus berkembang sampai akhir alam dunia ini, membuka ayat-ayat Allah SWT di alam semesta.

Ketika kebenaran ilmiah itu dituangkan dalam ICAO Annexes dan berbagai dokumen turunannya dalam bentuk regulasi dan dilaksanakan oleh insan dan lembaga penerbangan pada hakikatnya aktivitas penerbangan telah dilakukan berdasarkan ayat Allah SWT yang tersirat di alam semesta. "Hai jamaah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan." (QS ar-Rahman: 33).

Analisis kedua, ketika ICAO melaksanakan program USOAP (Universal Safety Oversight Audit Program), program ini sangat Islami. USOAP adalah program audit untuk mengetahui kepatuhan negara dan lembaga atau maskapai penyelenggara penerbangan terhadap Standard and Recommended Practices ICAO (SARPPs) dalam ICAO Annexes.

Bila bandara, maskapai penerbangan dan navigasi udara dikelola dengan penuh kepatuhan pada ICAO Annexes beserta dokumen dan circular-nya, penerbangan ini telah dikelola secara Islami. Islam menghendaki umatnya mematuhi, melaksanakan perintah Allah SWT, dan menjauhi larangan-Nya.

Indonesia, pada 2007-an dilanda berbagai kecelakaan pesawat dan menimbulkan ketakutan pada para penumpang. Tapi, saat penumpang itu naik pesawat yang baik dalam pengelolaan keselamatan penerbangannya yang telah mematuhi ketentuan ICAO, tidak terbersit ketakutan dalam diri penumpang.

Mengapa? Kalau kepatuhan itu dilakukan secara utuh, memakai bahasa Alquran, itu berarti penyelenggara penerbangan telah istiqamah. "Sesungguhnya, orang-orang yang mengatakan, 'Tuhan kami ialah Allah,' kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berdukacita."(QS al-Ahqaf: 13).

Pertanyaan ketika melihat grafik kepatuhan Indonesia (hasil USOAP 2014) dalam delapan aspek kritis penerbangan, di bawah rata-rata kepatuhan seluruh dunia. Mengapa hal ini bisa terjadi?

Bisakah ini dijadikan cermin kepatuhan umat Islam di Indonesia? Ataukah, ada kendala organisasi, struktur, pendidikan, manajemen yang menghambat prestasi kepatuhan?

Analisis ketiga, untuk meningkatkan keselamatan penerbangan setiap negara harus menerapkan reporting system. Semua insiden harus dilaporkan dan dianalisis.

Dari laporan dan analisis insiden itu diambil pembelajaran untuk memperbaiki pengelolaan keselamatan penerbangan. Berdasarkan teori, bila 600 insiden tidak dianalisis akan terjadi 30 kecelakaan ringan, 20 kecelakaan serius, dan satu kecelakaan fatal.

Laporan ini memerlukan kejujuran. Islam sangat jelas mengedepankan kejujuran mengikuti suri teladan Rasulullah SAW. Diriwayatkan oleh Ibn Mas'ud bahwa Rasulullah SAW bersabda, "Bersikap jujurlah kalian karena kejujuran akan mengantarkan kepada kebajikan dan kebajikan akan mengantarkan ke surga. Di saat seseorang selalu jujur dan menjaga kejujurannya, Allah SWT akan menetapkannya sebagai orang yang jujur."

Analisis keempat, bila penerbangan telah dikelola dengan penuh kepatuhan, baik yang standar maupun rekomendasi, masih ada yang harus tetap diwaspadai, yaitu hazard yang mengancam keselamatan penerbangan. Insan penerbangan, terutama safety manager setiap hari harus selalu dan terus mengidentifikasi hazard yang mengancam keselamatan penerbangan dan mengambil tindakan mitigasi.

Aktivitas ini juga sangat Islami. Umat Islam diminta selalu waspada terhadap hazard yang selalu mengintai setiap perbuatan yang baik, yaitu sikap riya, ujub, takabur, sombong, dan lainnya. (QS al-Baqarah: 264).

Analisis kelima, ketika di suatu negara banyak terjadi kecelakaan, hipotesisnya adalah penerbangan di negara itu dikelola tanpa kepatuhan terhadap ICAO Annexes. Penerbangan adalah aktivitas yang dikelola dengan peraturan yang sangat ketat.

Ketika peraturan keselamatan penerbangan tidak dipatuhi, bisa diterima akal bila terjadi kecelakaan pesawat. Tidak patuh terhadap peraturan penerbangan, bila memakai bahasa Alquran, berarti menzalimi diri sendiri dan musibah pun terjadi karena perbuatan tangan sendiri. (QS Yunus: 44).

Analisis keenam, dengan peraturan yang sangat ketat, dengan Annex 19 Safety Management System, target ICAO adalah tidak lebih dari satu kecelakaan fatal tiap sejuta penerbangan. Mengapa tidak zero accident?

ICAO tidak pernah membuat target zero accident karena tidak mungkin tercapai. Tidak pernah ada organisasi yang sempurna, tidak pernah ada sistem sempurna. Insan penerbangan, di mana pun, bekerja di dalam sistem yang tidak sempurna.

Insan penerbangan, ketika hendak melaksanakan tugas mengelola penerbangan, saat bepergian dengan pesawat terbang, meskipun telah diatur ketat, harus tetap berdoa karena pasti ada ketidaksempurnaan di dalam sistem. Hanya Allah SWT Yang Maha Sempurna. Wallahu a'lam bishawab.

Yaddy Supriyadi 
Wakil Ketua Masyarakat Hukum Udara
(Tulisan ini dimuat di harian Republika Jumat , 15 July 2016,)

KEJUJURAN DALAM PENERBANGAN


Sungguh memprihatinkan dan sangat menyedihkan. Kecelakaan pesawat militer bertubi-tubi terjadi dalam kurun waktu singkat merenggut nyawa-nyawa anak bangsa terbaik yang telah dididik mahal dan memiliki ketrampilan untuk menjaga kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam penerbangan pesawat sipil pun terjadi lagi berbagai insiden. Demikian juga kereta api dan kapal laut. Ada apa dengan pesawat militer kita? Ada apa dengan penerbangan kita? Ada apa dengan transportasi kita?

METODE PENCEGAHAN
Meskipun pesawat militer dalam Konvensi Chicago dikatagorikan sebagai   pesawat   negara   dan   dibedakan   dari   pesawat   sipil,  namun demikian metode yang harus dilakukan dalam pencegahan kecelakaan pesawat adalah sama dengan dengan metode yang dianjurkan bahkan diwajibkan oleh ICAO. Metode pencegahan kecelakaan yang berlandaskan pada   teori-teori   yang  berkembang   dalam   dunia  ilmiah  penerbangan saat  ini dan diadopsi  dalam  kebijakan  ICAO  harus  dilakukan  juga  oleh penerbangan militer.
Metode teknologi dan regulasi telah berhasil menurunkan angka kecelakaan  pesawat  sipil  secara  signifikan  hingga  tahun  1975.  Setelah tahun 1975 angka kecelakaan, meskipun rendah, tidak dapat diturunkan lagi dengan kedua metode tersebut. Teknologi yang makin canggih dan regulasi  yang makin  ketat,  telah mencapai  titik jenuh dan memerlukan metode lain dalam  upaya pencegahan kecelakaan pesawat.
ICAO  kemudian  memutuskan  membuat  metode  baru  disamping kedua metode tersebut. Metode yang dijadikan kebijakan ICAO dan harus dilaksanakan oleh negara peserta ICAO, termasuk Indonesia, adalah metode analisis insiden, dituangkan dalam Doc 9422 Accident Prevention Manual.  Setiap  insiden  harus dilaporkan  untuk  dianalisis  dan kemudian ditetapkan langkah-langkah pencegahan kecelakaan pesawat.
Kebijakan ini  ditetapkan  berdasarkan paradigma bahwa  kecelakaan pesawat adalah akumulasi dari insiden-insiden yang dibiarkan. Dalam teori dikatakan  bahwa  dari 600 insiden  akan terjadi  30 kecelakaan  biasa,  20 kecelakaan serius dan 1 kecelakaan fatal. Setiap insiden pesawat harus diinvestigasi dengan tujuan bukan untuk menyalahkan (blame) tapi untuk dijadikan bahan pembelajaran (lesson learnt) dalam rangka mencegah kecelakaan serupa terulang kembali.Dengan   demikian   maka   keberhasilan   pencegahan   kecelakaan pesawat adalah sangat tergantung pada pelaporan insiden.

WAJIB LAPOR
Maukah  pelaku  melaporkan  dan  berkata  jujur  tentang  apa  yang terjadi dalam  kecelakaan atau insiden yang telah dilakukannya? Adalah manusiawi untuk menutupi kekeliruan-kekeliruan yang dilakukan oleh individu, karena rasa malu dan gengsi apalagi bila ada ancaman hukuman pidana.  Oleh karena itu pada tahap  awal program  pelaporan  insiden  ini masih berifat sukarela dan anonim. Sudah tentu jumlah pelaporan sukarela tersebut  sangat  terbatas.  Banyak  insiden-insiden  yang  disembunyikan karena berbagai alasan tersebut di atas.
Untuk  mengembangkan  budaya  lapor     (reporting  culture)  ini masyarakat  penerbangan  internasional  dan  ICAO  mengajukan  konsep just  culture  dimana  pelaku-pelaku insiden  tidak  dihukum  kecuali  bila memang ada perilaku yang tidak bisa diterima (unacceptable behavior). ICAO dalam salah satu strategi Global Aviation Safety Plan yaitu Effective Errors  And  Incident  Reporting  Systems  meminta  agar  negara  merubah Undang-Undang   Penerbangan  dengan  memasukan   prinsip-prinsip   just culture.
Di Denmark  misalnya,  insiden  yang dilaporkan  hanya  15 insiden per tahun, namun setelah kewajiban dan perlindungan terhadap laporan insiden  dimasukkan  dalam  Undang-Undang,  insiden  yang  dilaporkan ada 980. Hampir tabrakan di udara (near-miss)  dari 15 kali menjadi  50 per tahun.  Kasus di Denmark  ini menunjukkan  betapa banyak  insiden penerbangan yang selama ini disembunyikan, tidak dilaporkan dan tidak diinvestigasi.

SEMUA HARUS JUJUR
Agar insiden yang   telah terjadi dilaporkan oleh pelaku dengan data yang lengkap, maka harus diciptakan kondisi dimana pelaku insiden tidak diancam  hukuman.  Harus ada kondisi  dimana  kejujuran didorong  dan dikembangkan,  dimana kejujuran  sangat  dihargai, ada suasana penuh kepercayaan  (an atmosphere  of trust  in which people  are encourage, even rewarded, for providing essential safety-related information). Di negara kita keharusan membuat laporan dan perlindungan terhadap pelapor  telah  dituangkan   dalam   Undang-Undang   Penerbangan  No.1 tahun 2009 dalam pasal 321.
Masalahnya kini adalah apakah semua jajaran penerbangan dari tingkat  tenaga  operasional  hingga  pimpinan  puncak  sudah  memahami dan  siap  dengan  berperilaku  sesuai  budaya  lapor  (reporting  culture)?. Bila tenaga di ujung tombak, penerbang, mekanik, ATC dan lain lain siap memberikan laporan setiap insiden sebagaimana diamanahkan ICAO dan Undang-Undang Penerbangan, apakah pimpinan lini siap menerima laporan- laporan insiden? Apakah tim investigasi siap meneliti serta menganalisis dengan model penelitian yang benar, yang dianjurkan ICAO, sehingga diketahui  latent  failures  dari insiden  tersebut  yaitu keputusan-keputusan pimpinan yang keliru disamping active failures yang berkaitan dengan kekeliruan tenaga operasional? Siapkah melaporkan temuan latent failures tersebut  ke atasan?  Tidak  adakah  rasa  khawatir  dicopot  oleh  pimpinan puncak ketika menyampaikan laporan tersebut?
Apakah pimpinan puncak siap berperilaku dengan berkata: I would like rather know the incidents than punish the offender? Apakah pimpinan puncak mau dengan jujur menerima semua laporan insiden dan kemudian mau melaksanakan semua rekomendasi hasil investigasi insiden yang berkaitan dengan latent failures? Mau melakukan perbaikan sistem? Mau memperbaiki keputusan-keputusan pimpinan yang keliru?
Kejujuran yang diharapkan tumbuh dalam diri tenaga operasional penerbangan  untuk  melaporkan  dan  berkata  benar  tentang  apa  yang terjadi  dalam  setiap  kecelakaan atau  insiden  harus  disertai  dengan kejujuran pimpinan lini dan puncak untuk mau menganalisis insiden dan mau menerima dengan lapang dada temuan latent failures dan kemudian mau memperbaiki kekeliruan dalam  sistem sesuai dengan rekomendasi hasil investigasi.
Dalam  referensi  ilmiah  penerbangan,  negara  Indonesia  termasuk dalam kelompok negara yang memiliki kultur dengan power distance yang sangat tinggi yaitu ada jarak yang besar antara junior dan senior. Junior sangat menghormati senior dan takut untuk memberikan masukan. Senior tidak mau dikritik dan sering mengabaikan masukan junior. Copilot berpikir lama dan mencari kata-kata yang sopan untuk menegur Captain Pilot yang melakukan  kekeliruan,  meskipun kedua-duanya  telah mengikuti  pelatihan CRM (Cockpit Resources Management) yang berupaya menghilangkan power distance yang tinggi.
Bila kultur power distance yang tinggi ini masih bersemayam dalam insan-insan   operasional   dan   pimpinan   penerbangan   Indonesia,   sipil maupun  militer,  maka investigasi  kecelakaan  maupun  insiden  pesawat, tidak akan efektif sebagai metode pencegahan kecelakaan pesawat. Kecelakaan pesawat akan terus terjadi.

BISAKAH?
Bisakah insan penerbangan di berbagai lapisan bersikap dan berperilaku jujur? Jujur dalam melaporkan setiap insiden, jujur dalam menerima laporan dan menganalisis insiden, jujur dalam menerima rekomendasi  hasil penelitian insiden dan jujur melaksanakan perbaikan sesuai rekomendasi tersebut?
Nilai  yang  terkandung  dalam  budaya  lapor     (reporting culture) adalah kejujuran. Penerbangan harus dikelola dengan penuh kejujuran. Penerbangan     adalah     industri     yang    termasuk     dalam     katagori complex socio-technical system yang memerlukan koordinasi dan interaksi yang  akurat  dari  banyak  tenaga  profesional  dan  beragam  komponen teknologi yang bila tidak dikelola dengan jujur maka yang akan terjadi adalah bencana besar (catastrophes).
Dari landasan  teori yang diadopsi  dalam  kebijakan  ICAO tersebut di atas maka bila di suatu negara banyak terjadi kecelakaan  pesawat, bahkan   bertubi-tubi,   hipotesisnya  adalah   penerbangan   di   negara tersebut belum dikelola dengan jujur (demikian  juga pelayaran  serta transportasi darat lainnya). Hipotesis ini tentunya perlu dibuktikan melalui penelitian yang juga jujur.

(Tulisan ini telah dimuat di harian Media Indonesia, tanggal 18 Juni 2009 dan menjadi salah satu bab dalam buku “KESELAMATAN PENERBANGAN, TEORI DAN PROBLEMATIKA”, Edisi 1 dan Edisi 2).